Sejak tahun 1970an, almahrum Bapakku sudah bertugas di Menanga sebagai staf kecamatan Solor Timur. Saya masih terlalu kecil dan hampir tidak ingat lagi kondisi Solor di tahun itu. Solor itu tandus, Solor itu gersang, Solor itu batu parak, Solor air garam. Begitu julukan yang diberikan kepada kami oleh orang di kampungku, Lamapha, ketika kami pulang dan berlibur ke Adonara.
Kami dianggap orang buangan kala itu karena katanya Solor itu tempat buangan. Namun Bapakku tetap semngat. Bapak bersama beberapa teman kantornya turun dari desa ke desa dengan berjalan kaki sampai ke pantai selatan menyusuri jalan setapak. Di tangan mereka harus membawa parang atau kelewang untuk membuka jalan dari desa ke desa. Terkadang pulangnya harus tidur di pondok orang di kebun-kebun karena kemalaman. Ini pengalaman bersama Om Buche Banguari, beliau sekarang masih ada di Waiwadan sebagai saksi sejarah mereka. Dan karena kecintaan Bapak dan jiwanya sudah menyatu dengan orang Solor membuat Bapak tetap semangat dan menikmatinya sampai di penghujung masa pensiun. Bapak mengakhiri masa tugasnya di Ritaebang, Solor Barat dan menjadikan kami anak-anak sebagai bagian dari kehidupan itu. Saya tumbuh menjadi anak usia sekolah dan masuk SDK Waikrowe.
Karena kondisi geografis Solor yang dibilang tandus, maka perjuangan untuk mendapatkan program penghijauan dari Dinas Pekebunan dan Kehutanan hampir setiap tahun digelontorkan untuk Solor. Mulai dari penanaman terasering, Lamatoro Gung, penghijauan tanaman mahoni, dan juga jambu mente. Bahkan juga diwajibkan kepada kami anak-anak sekolah mengerjakan pebibitan kelapa untuk ditanam.
Teringat masa-masa itu yang sangat menyenangkan, bahwa kami harus berlomba-lomba mencari bji mente, biji lamatoro gung dan juga kelapa. Sedangkan mahoni waktu itu didatangkan dari dinas. Satu lagi yang saya lupa, okulasi mangga harum manis yang sangat banyak didatangkan waktu itu.
Masyarakat begitu antusiasnya. Beramai-ramai kami semua turun melakukan penghijauan di mana-mana dan juga terasering. Anak sekolah dan masyarakat gotong-royong. Tapi entah sampai hari ini ada hasil yang dikecapi atau tidak. Karena yang saya tahu dan rasakan waktu itu adalah semua proyek penghijauan dan terasering hampir setiap tahun dilahap oleh jago merah dan dibantai oleh kambing-kambing liar sehingga semua program jadi mubasir. Semoga lepas dari generasi kami ini, tidak ada lagi budaya bakar bukit yang memberi pemandangan bukit hitam di musim kemarau.
Tahun ini, kelor, alias motong alias merungge menjadi andalan. Somoga dapat menjadi permadani kelor seperti julukan yang diberikan buat Tanjung Bunga sebagai permadani mente. Itu jelas, Solor My Love, gersang tapi damai.[]